Dunia Berstandar

Berbohong itu seni, konon begitu. Jika frase itu kita balik "Seni itu berbohong". Ah ngawur, seni itu justru kejujuran, ungkapan hati, Begitu katanya. Tapi bukankah seni itu nir standar, sedangkan berbohong atau tidak itu mengikuti standar, paling tidak standar moral.

Seni itu taklah bisa dikelompokkan menjadi seni baik dan seni tidak baik, seni berkualitas dan seni tak berkualitas, karena sejatinya seni perkara yang sangat subyektif, sulit distandarisasi yang sifatnya massal. Sedangkan segala sesuatu yang bernuansa nilai moral bisa distandarkan secara massal. Berbohong itu buruk, jujur itu baik. Begitulah ! Pertanyaannya mengapa dunia harus dibangun dengan berbagai standar ?


Perhatikan saja, sekolah juga distandar-standarkan, ada sekolah standar internasional, standar nasional dan standar ala kadar. Perhatikan sandal jepit ada yang standar ekspor dan standar impor. Tengok pula pekerja seks komersial, ada yang kelas (standar) tinggi (baca high class) dan ada yang kelas emperan.

Semua dimensi hidup manusia modern dijejali dengan standar-standar. Apakah kita semua dilibatkan untuk menentukan standar-standar itu ? Seribu persen saya yakin, tidak. Kita hanya pada posisi menerima dan mengamini tiap standar itu. Tentu standarisasi memudahkan kita menyederhanakan kompleksitas, tapi pada saat yang sama standarisasi menghilangkan keunikan (kekhasan).

Di dunia yang segala sesuatu menjadi sangat massal maka tak ada pilihan selain menyederhanakan segala sesuatu. Tak ada waktu untuk kerumitan. Pada akhirnya apakah standarisasi-standarisasi yang diciptakan itu sebuah kebohongan ? entahlah, yang jelas standarisasi adalah seni menyederhanakan, seni mereduksi..!

 Image by huzer apriansyah

0 komentar:

Posting Komentar

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Antagonist is me...

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger